Jumat, 25 Desember 2009

Aku Menyesal Tak Menjadi Demonstran

Waktu ternyata berjalan begitu cepat kawan. 4 tahun ternyata begitu singkat. Baru kemarin rasanya kepala ini dibotak oleh seseorang yang menamakan dirinya senior dan mengatasnamakan perbuatan yang dilakukannya sebagai sebuah bentuk pengenalan kampus. Namun kini, mantan mahasiswa botak itu dengan gagahnya telah menggunakan toga penanda dia telah sarjana.

Akademik, Cinta, Organisasi dan Tulisan kawan. Hal itu yang selalu menghiasi 4 tahun itu. Nilai akademikku bisa dikata sangat lumayan meski ku tahu kalau nilai bukanlah lagi ukuran pintar tidaknya seseorang. Untuk urusan cinta kutemukan dari teman-teman dan seorang yang bisa kusebut sebagai teman spesial. Organisasi tentunya bukanlah barang baru untukku. Semua jenjangnya telah kulalui, baik sebagai anggota ataupun ketua. Dan tulisan??? Meski baru dalam bentuk cerpen fiksi, namun kutetap bangga memiliki beberapa tulisan yang diterbitkan di media ataupun ikutan nangkring dalam kompilasi sebuah buku. Lengkaplah…

Tapi kawan, ada satu hal yang membuatku sangat menyesal. Tak sempat kumenjadi demonstran. Ikut melakukan aksi solidaritas menentang pemerintah. Dan menyuarakan suara rakyat yang tertindas. Hal yang begitu aku idam-idamkan ketika masih SMA dahulu. Apalagi, mahasiswa memang identik dengan demonstrasi

Tahukah kawan. Aku bahkan pernah didaulat untuk menunjukkan kemampuanku sebagai orator jalanan. Dan dengan kepercayaan diri yang tinggi kumelakukan itu dihadapan puluhan teman seangkatanku di sebuah organisasi. Dan hasilnya, aku dianggap bisa turun ke jalan. Betapa senangnya saat itu.

Sayang kawan. Saat keinginan itu begitu menggebu, dia tiba-tiba saja layu luar biasa. Sebut saja dia mengalami impotensi total. 
Ceritanya begini kawan. Seorang teman dengan senangnya memintaku untuk mengikuti sebuah demonstrasi di suatu tempat. Jelas saja kuiyakan ajakan itu. Lalu kemudian sang teman menambahkan kalau dengan mengikuti aksi itu, aku akan mendapatkan uang senilai Rp.50000. Hahhhhhhh, sebuah tamparan bagiku. Kenapa harus ada uang??? Bukankah aksi ini demi rakyat??? Apakah rakyat membayar kami??? Belakangan kutahu kalau tidak semua aksi itu murni.

Sejak saat itu kawan, keinginan itu terpendam dalam. Bahkan semakin dalam. Keinginan menjadi demonstran tak lagi menggebu. Apalagi saat seorang teman yang lain menceritakan tentang nominal yang lebih besar dan free pass ke sebuah diskotik. Susah menemukan kemurnian yang betul-betul datang dari lubuk hati. Keinginan untuk menjadi demonstran itupun mati total. Tak tersisa.

Tetapi kawan. Tak terbantahkan rasa kagumnya jika kulihat teman-teman yang lain melakukan aksi menentang pemerintah. Mengangkat tangan kanannya dengan tangan kiri memegang microphone. Memasang badannya saat kepolisian meminta mereka berhenti untuk melakukan aksi. Mereka berani. Bahkan sangat berani meski tubuh mereka tidaklah besar. Kuharap aksi mereka murni, sehingga kekagumanku tak memudar pada mereka.

Sedih rasanya kawan. Meninggalkan bangku kuliah tanpa sekalipun melakukan hal yang dahulu begitu sangat kuidam-idamkan. Aku menyesal tak bisa menjadi seorang demonstran. Tak bisa turun ke jalan. Menentang mereka yang tak memperdulikan rakyatnya. Bagaimanapun alasan dan penyebabnya, tetap saja aku menyesal.

Untuk kamu kawan. Aktivis mahasiswa, orator jalanan, demonstran atau apapun namanya. Tetap berani menyuarakan kebenaran kawan.

0 komentar:

Posting Komentar

konro soup project /

My Colorful Life

My Colorful Life